Ini Dia Dasar Hukum Tanda Tangan Digital/Elektronik


Masa pandemi ini telah memaksa perubahan gaya hidup lama. Salah satunya adalah penggunaan tanda tangan digital, menggantikan tanda tangan fisik dengan pena dan kertas. Apalagi pandemi membatasi interaksi tatap muka, misal pada saat kontrak bisnis, sehingga kebutuhan tanda tangan elektronik (TTE) sulit dihindari. Kebutuhan tanda tangan yang secara autentikasi terjamin dan kuat secara hukum. 

Secara keamanan, tanda tangan elektronik (TTE) telah dirancang dengan sistem teknologi hash dan enskripsi dengan private key sehingga sulit di dimodifikasi.

Bagaimana dari aspek legalitas, apakah TTE memiliki kedudukan hukum yang kuat? 

Ternyata, sejak tahun 2008, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum yang mengatur tentang tanda tangan dalam transaksi elektronik. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi dasar pengakuan keabsahan penandatanganan suatu kontrak secara elektronik. 

Dalam UU ITE Pasal 11 ayat (1) telah jelas menyebutkan bahwa tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah dengan persyaratan tertentu. Ada 6 persyaratan yang menentukan keabsahan tanda tangan secara hukum. 

Dalam empat tahun selanjutnya, aturan ini dikuatkan dengan hadirnya PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang bahkan mengatur khusus pada Bab V tentang Tanda Tangan Elektronik.

PP No.82 Tahun 2012 mengatur secara rinci tentang TTE dalam 5 bagian dan 7 pasal, yaitu pasal 52 sampai dengan 58, dimulai dari bagian Penjelasan Umum tentang TTE, Jenis TTE, Data Tentang Pembuatan TTE, Proses Penandatanganan, dan Identifikasi, Autentikasi dan Verifikasi TTE. 

Dengan demikian, secara kedudukan hukum, Tanda Tangan Elektronik (TTE) diakui dan sah secara hukum untuk digunakan dalam transaksi elektronik, termasuk dalam industri keuangan digital. 

copyright © cekfintech.id 2024