Pemakaian Tanda Tangan Elektronik Naik 350%


Masa pandemi memaksa masyarakat mengurangi mobilitas dan interaksi tatap muka. Padahal di sisi lain, aktivitas bisnis terus bergerak dan membutuhkan penandatanganan untuk legalitas atau otentikasi dokumen bisnis. Teknologi Tanda Tangan Elektronik (TTE) menjadi solusi yang memudahkan operasionalisasi bisnis dengan jaminan hukum pada dokumen yang ditandatangani.

“Benar, di era digital apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini TTE akan menjadi solusi. Namun TTE harus memenuhi persyaratan seperti diatur dalam pasal 11 UU ITE, seperti saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan,” kata Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika, Mariam Fatimah Barata saat acara Webinar Transformasi Digital Sektor Kesehatan dengan Tanda Tangan Elektronik Tersertifikasi (antaranews.com, 17/06).

Sama halnya dengan tanda tangan manual, TTE juga dianggap sah dan memiliki jaminan hukum yang sama. Khususnya TTE yang sudah tersertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi ELektronik (PSrE), karena dibuat menggunakan Sertifikat Elektronik (SrE), dikelola oleh Lembaga PSrE yang diakui pemerintah (Kemkominfo), sehingga dianggap memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. 

Sebaliknya TTE yang tidak tersertifikasi, tidak ada jaminan dibuat melalui prosedur yang terjamin keamanan, dan tidak ada pengawasan tentang standar yang benar dalam prosesnya. 

PrivyID, Lembaga PSrE resmi terdaftar di Kominfo, mencatat peningkatan jumlah pelaku bisnis yang menggunakan tanda tangan elektronik mencapai 350 persen di tengah kondisi pandemi Covid-19 (Merdeka, 23/10).

Kominfo mencatat bahwa selama tahun 2018-2020, ada lebih dari 2,58 juta sertifikat elektronik termasuk yang mengadopsi tanda tangan digital. 

Demikian juga ditegaskan oleh Sekjen Kominfo, Mira Tayyiba, dalam diskusi FinTech Tall, Rabu (21/7), “Selama pandemi, penggunaan tanda tangan digital melonjak 350 persen”.

copyright © cekfintech.id 2024